Monday, October 15, 2018

Kuliah Lima Bulan



My dearest Reza… 

Biarlah tulisan ini menjadi puncak kesedihan yang aku pendam beberapa hari terakhir, kupikir mudah melewati hari dengan tidak tinggal dan hidup bersamamu. Seperti katamu, kita pernah melakukan ini sebelumnya. Sebelum akhirnya kita memilih satu atap untuk menuju tahap pengenalan selanjutnya. Entah sudah berapa jumlah sks yang kamu beri, pelajaran lainnya, bukan hanya tentang cinta saja. Aku belajar bertanggungjawab, belajar menunggu, belajar sabar, belajar komunikasi dengan baik tentunya.
 
Lima bulan yang berhasil membuatku yakin bahwa kamu orang yang tepat untuk aku percaya. Orang yang aku percaya untuk menjadi tempat singgah dengan sungguh. Dan berhasil menjadi salah satu alasan bahwa aku harus tetap hidup untuk bisa bersamamu. 

Maaf aku terlalu cengeng, tapi kamu paham betul aku tidak cukup pandai menyembunyikan perasaanku. Sampai detik ini, aku masih berusaha menahan tangis perpisahan. Tidak, tidak, aku paham kita hanya kembali ke rumah masing-masing, tapi kau tau? Dadaku sesak, iya masih sesak, mengingat malam ini aku tidak lagi tidur di sampingmu, dan kamu tidak lagi memelukku dari belakang saat aku tertidur. Memang, kita tidak selalu mesra, ada kala ribut-ribut kecil karena cemburu, tapi bisa kita atasi. Ada juga perasaan kesal saat menunggumu pulang, tapi tetap saja aku senang saat melihat kamu berdiri di ambang pintu. 

Aku tidak punya kekuatan banyak untuk terus bersedih, aku masih berusaha untuk menerima. Tapi aku punya banyak harapan padamu, pada kita. Aku juga bisa menjamin, tidak ada perasaan yang berkurang sedikitpun karena kita tidak lagi seatap. Perasaan ini malah terasa tumbuh subur, makin kuat mengikat, menunjukkan mimpi indah yang biasa mereka sebut pernikahan. Lima bulan mungkin waktu yang terlalu singkat untuk itu, mari kita wujudkan waktu lainnya yang lebih panjang di dalam sebuah ikatan. Sampai jumpa di tempat tinggal kita selanjutnya, Sayang. 


Bunch of love,
Fau.
 

Read More




Thursday, September 20, 2018

Cinta Itu Berat






Bicara cinta, berarti bicara tentang manusia. Bicara manusia, artinya bicara kebebasan. Bicara kebebasan adalah bicara kesenangan. Apakah cinta itu sebuah kesenangan? Jika iya, mengapa harus berat? Bukankah semestinya kesenangan itu tidak memberatkan apapun? 

Benar, cinta itu menyenangkan. Tapi bagian yang memberatkan adalah, tanggungjawab. Menjadi manusia yang bertanggungjawab. 

Mencintai artinya bertanggungjawab. Atas apa? Atas perasaan diri sendiri, dan perasaan orang yang mencintaimu juga. 

Benar, kebahagiaan itu milikmu sendiri, kamu tidak dianjurkan untuk menggantungkan perasaanmu pada pasanganmu. Tapi menjaga perasaan pasanganmu, dan mempertanggungjawabkannya, adalah kewajiban, kewajiban sebagai pasangan yang baik. 

Pertanyaannya, mampukah kamu menjadi pasangan yang baik?
Jika, jawabannya ragu, artinya kamu tidak cukup baik. Yakinkanlah dulu, yakinkan dirimu sendiri untuk menjadi pasangan yang baik. 

Jika kamu sudah yakin, jagalah keyakinanmu. Jangan sampai goyah, karena keyakinanmu itu adalah bentuk lain dari harga dirimu. Harga dirimu, adalah milikmu, kamulah yang menjaganya agar tetap berharga. 

Oh, tentu saja, siapa manusia hebat yang bisa melakukan hal-hal di atas? Adakah? Oh, tentu ada. Kalau pun tidak ada, cobalah. Dan jadilah manusia pertama yang mampu melakukannya. 

Sebaik-baiknya manusia itu yang mau mencoba, bukan? 

Cinta itu berat, sebab itu, belajarlah.
Read More




Thursday, April 12, 2018

Saya Rasa Cukup



Tulisan ini saya buat bukan bermaksud menyalahkan pihak manapun, tulisan ini murni saya tulis untuk mencurahkan segala isi kepala saya.
Kita semua pasti punya batas pada hidup kita, batas-batas yang kita tentukan sendiri, tentu batasan-batasan itu dibuat agar kita tau sampai mana kita mampu.
Begitu juga saya. 

Setahun lalu saya memulai sebuah hubungan, tentu dengan orang yang saya cintai. Saya bahagia, berada sepersekian senti di dekatnya adalah kebahagiaan yang tidak bisa dibayar dengan apapun. Saya sadar hal itu. Tapi di lain sisi, di waktu-waktu yang sedang berjalan, saya menemukan berbagai dinding penghalang, yang awalnya saya rasa, saya sanggup menerobos masuk, namun setelah saya coba berkali-kali membenturkan diri dan berusaha masuk, saya merasa saya tidak akan sanggup. Saya seperti merasa tenaga saya sudah terkuras habis, peluh saya sudah tidak sanggup menanggung bebannya. Ini yang saya sebut batasan, saya rasa ini batas saya. 

Dinding itu adalah pengertian, di dalamnya terdapat berbagai hal yang pasangan saya punya. Dan perbedaan-perbedaan kami yang cukup membuat ngeri. 

Saya si detil, saya pemerhati hal-hal kecil.
Ia si peremeh yang baik, hal-hal kecil tidaklah penting. 

Perbedaan satu hal itu, adalah boom waktu. Bisa menyerang dalam kondisi apa saja. Ketika saya berusaha untuk tepat waktu, dia selalu punya alas an untuk datang terlambat.
Ketika saya berusaha selalu ada, dia selalu punya alasan untuk dianggap sedang sibuk.
Ketika saya sangat merasa bersalah dan minta maaf sebisanya, dia memilih untuk meminta saya menekan ego saya . 

Memang benar dia berhak menentukan pilihan, dan saya tidak pernah bisa menerima pilihan itu sepenuhnya. 

             Hingga akhirnya saya menulis ini, mencoba membuka mata saya lebar-lebar, mengingat apa saja yang sudah dia relakan untuk saya, dan mengingat apa saja yang sudah saya relakan untuknya, dan saya rasa seimbang. Kami tidak pernah saling menuntut, tapi kami berusaha untuk bisa diterima. Saya paham, tidak mudah baginya untuk menerima saya, mungkin karena dia adalah sosok yang pantang menyerah. 
Tapi saya hanyalah perempuan lemah yang sering berpikir untuk menyerah. Saya menyerah bukan karena saya sudah kehabisan tenaga, masih ada sisa-sisa , yang bisa saya maksimalkan untuk berusaha lagi. 

Tapi, setelah yang sudah-sudah, tenaga saya habis sia-sia. Tak dihargai, diam saya salah, bicara pun tak didengar. Peduli saya dianggap menyebalkan, tidak peduli dianggap tidak menyayanginya, melakukan segala sesuatu sendiri dianggap tidak menghargainya, namun ketika saya membutuhkannya, dia pura-pura tak tau. Saya rasa semua ini cukup. Saya harusnya bisa terbang lebih jauh, jauh dari perasaan-perasaan menyebalkan ini.
Read More




Thursday, September 7, 2017

Saya Hanya Bercanda, Jika Kamu Tersinggung, Itu Bukan Urusan Saya

Seringkali saya berkata tanpa memikirkan apa yang saya katakan.
Mengomentari hidup oranglain, memberi pendapat tanpa mau mendengarkan. Sekenanya saja mulut saya berucap, tanpa pernah memikirkan apakah kata-kata saya menyinggung orang lain atau tidak. Acap kali seseorang merasa tersinggung dengan kata-kata saya, saat itu pula saya mengatakan bahwa kata-kata saya hanya candaan, dan meminta oranglain untuk tidak terbawa perasaan.

Padahal, bukankah mereka berhak menunjukkan ketidaksepakatan dan rasa tersinggung dengan apa yang saya katakan?
Jika mereka tersinggung, jelas-jelas itu adalah kesalahan saya, harusnya saya meminta maaf karena kata-kata saya yang menyinggung, tapi saya malah meminta mereka menekan harga diri mereka dengan kata-kata "gitu aja kok bawa perasaan, sih" atau "lebay banget, saya kan bercanda".

Setelah mengatakan hal-hal demikian, biasanya orang-orang yang saya singgung dengan kata-kata saya, akan bertingkah baik-baik saja. Saya sendiri masih menerka-nerka apakah mereka masih menyimpan perasaan sakit hati karena kata-kata saya.

Selama ini, saya selalu menganggap apa yang diungkapkan oleh kata, tidak sakit, tidak akan melukai secara fisik, kan cuma kata-kata saja. Sayang sekali, saya hanya mengenal luka fisik, luka yang cepat mengering dengan obat-obat biasa. Saya belum tahu bahwa ada luka lain, yaitu luka hati, yang sulit sekali sembuh, yang perlu dokter khusus dan biaya yang mahal. Luka hati yang biasanya disebabkan oleh orang-orang terdekat, seperti saya yang sering berkomentar tentang tubuh teman-teman saya, atau penampilan teman-teman saya, atau bau parfum teman-teman saya. Mengomentari hak mereka, hak mereka yang bebas ingin berpenampilan seperti apa, dan saya tidak punya hak sama sekali menuntut mereka untuk berpenampilan sesuai keinginan saya. Tapi saya tetap melakukan itu, memberi makan alter ego saya, saya tidak peduli perasaan teman saya, itu bukan urusan saya.

Saya tidak pernah mau tahu, bahwa sebenarnya kata-kata itu punya makna, makna baik dan buruk. Saya tidak mau tahu, bahwa kata-kata seseorang bisa mengubah perilaku atau bahkan kepribadian oranglain secara signifikan. Saya tidak mau tahu bahwa kata-kata punya kekuatan.

Sebab, tidak ada yang mengingatkan saya akan hal itu. Lingkungan saya juga begitu, saya juga sering dikomentari dan saya baik-baik saja, saya merasa itu hanya bercandaan. Waktu itu, saya pernah dikomentari soal bau parfum yang saya gunakan, saya biasa saja. Teman dekat saya waktu itu bilang bau parfum saya mirip bau nenek-nenek, saya baik-baik saja dikomentari seperti itu, setelah itu saya ganti parfum lain.

Pernah juga, saya mengenakan baju tanpa lengan, teman laki-laki saya menonjok lengan saya dengan sengaja, dia bilang lengan saya seperti tukang pukul, besar dan keras. Hahaha, biasa saja, saya anggap itu bercanda, saya baik-baik saja. Tapi, setelah itu saya tidak pernah mengenakan pakaian tanpa lengan, saya malas dibercandain tukang pukul. Padahal saya ingin, menurut saya pakaiannya lucu.

Yah, apapun kata-kata saya, menyakiti atau tidak, saya tinggal bilang kalau saya bercanda. Maka masalahnya selesai.

Urusan mereka yang mendengar tersinggung atau tidak, tentu bukan urusan saya.


Read More




Wednesday, July 26, 2017

the black sides

Minggu ini, aku harus pergi lagi ke psikiater. Sebab, beberapa hari terakhir, pikiranku sudah penuh dengan niat untuk mengakhiri hidup. Hal-hal yang sudah kulupakan sekuat tenaga, muncul begitu saja di kepala, bak pemutaran film, begitu jelas, begitu detil. Membuat aku takut untuk berkomunikasi dengan orang-orang sekitarku. Membuat aku takut terbangun untuk tidur, aku takut hal-hal itu muncul sebagai mimpi, aku juga takut saat terbangun, hal itu muncul lagi mengisi ruang kosong di pikiranku.

Masalalu yang begitu menyedihkan, masalalu yang hampir membunuhku. Aku menyesal karena tidak pernah berhasil menghentikannya. Aku tidak pernah berhasil menolong diriku sendiri dengan melawan.

Beberapa belas tahun lalu, begitu jelas ingatanku, seorang aku pada usia enam atau delapan tahun, sedang bermain petak umpet di lapangan luas, saat itu aku tinggal di sebuah perkampungan kecil, masih di pinggiran Ibukota. Aku bermain dengan beberapa teman sebaya, usia mereka mungkin lebih tua satu atau dua tahun, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kami bermain selayaknya anak-anak pada usia itu, berlari, tertawa, bercanda, namun pada satu momen, mereka semua, sekitar tiga orang selain aku, bertingkah aneh, mereka menyeret aku, membawaku ke salah satu pohon besar di pinggir lapangan. Aku lupa dialog apa yang mereka lakukan, aku hanya mengingat saat mereka meminta aku untuk melepas pakaianku, aku terlalu takut untuk menolak, aku terlalu takut untuk berteriak. Ada dua anak laki-laki di hadapanku, dan sisanya menggenggam tanganku dari belakang pohon. Kejadiannya begitu cepat, dua anak laki-laki di depanku, membuka pakaian mereka, dan mendekatkan kemaluannya ke arahku, mereka menggesek kemaluannya secara bergantian ke kemaluanku. Aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan saat itu, aku begitu polos, aku hanya seorang bocah usia enam atau delapan tahun, tapi aku tahu yang mereka lakukan adalah hal yang memalukan.


Sebelumnya, aku tidak pernah sekalipun teringat kejadian itu, aku mungkin sudah lupa, tapi beberapa waktu terakhir, begitu banyak berita yang beredar tentang potret anak-anak kecil di negara ini, potret-potret memalukan yang dengan sengaja disebarluaskan oleh orang yang tidak bertanggungjawab, membuat pikiranku menerka-nerka, membuat aku memaksa mengingat hal memalukan yang pernah terjadi denganku. Ternyata aku belum benar-benar lupa. Aku hanya pura-pura melupakannya. 
Read More




Tuesday, July 11, 2017

it is not easy


I'm trying so hard to stay alive. 

Bedrest beberapa hari ini cukup membuat isi kepala saya berputar di situ-situ saja, perihal masalah hidup saya, keinginan mengakhirinya, keinginan menyelesaikannya. Namun, rasanya lebih besar keinginan untuk mengakhirinya, dengan mengakhiri pula hidup saya.

Saya kehilangan arah ke mana saya harus pergi, saya kehilangan tempat untuk pulang. Atau, jika benar Tuhan adalah rumah sebenarnya, mengapa saya tidak kembali kepada-Nya sekarang juga? Ketimbang harus mengeluh setiap hari, ketimbang menangis memohon kemudahan, bukankah lebih baik saya langsung menghadap kepada-Nya?

Saat berdoa sudah tidak lagi menjadi sumber kekuatan, saat airmata sudah tak mampu lagi menjelaskan, lalu, ke mana lagi saya harus berjalan? Saya telah kehilangan kepercayaan saya, sejak lama. Kepercayaan pada siapapun, bahkan orang tua saya sendiri.

Namun, tak mengurangi perasaan sayang saya kepada mereka. Saya mencari kekuatan lagi untuk tetap hidup, dan hidup saya sekarang semata-mata hanya untuk membalas mereka yang berbaik hati mendengarkan saya.

Saya tidak lagi takut akan kematian.
Saya masih percaya, ada hal yang lebih besar dan lebih berhak atas diri saya dan semesta ini, tidak peduli, itu Tuhan atau semacamnya. Saya hanya percaya. Saya masih terus berusaha mengumpulkan alasan-alasan untuk tetap bertahan hidup. Saya masih mencari teman-teman yang merasakan hal yang sama, untuk saling menguatkan, untuk saling meyakini bahwa hidup itu indah. Entah, indah di bagian mana. Saya masih merasa memiliki tanggung jawab untuk hidup lebih lama, atau memang saya hanya belum menemukan cara yang benar untuk mati?



Read More




Tuesday, June 20, 2017

Saya Takut





I want you
Yeah I want you
And nothing comes close
To the way that I need you
I wish I can feel your skin
And I want you
From somewhere within

Malam ini saya menangis, membayangkan sebuah kehilangan. Alunan sendu Oceans - Seafret, seakan menegaskan bahwa saya begitu menginginkan kamu. Keinginan yang besar, sebesar samudera. Sebelumnya saya pernah takut kehilangan, tapi tidak semenakutkan ini. Saya membayangkan betapa hancurnya saya, jika ketakutan saya terjadi. Saya membayangkan kamu pergi, entah karena Tuhan berkehendak untuk mengubah perasaan kamu, atau sebuah bentuk pembalasan atas apa yang pernah saya perbuat, adalah seburuk-buruknya mimpi.

Saya belum pernah merasa bahagia dan takut dalam satu waktu. Tapi, malam ini Tuhan tunjukkan pada saya bagaimana rasanya. 

Saya begitu takut.

Saya begitu takut kamu pergi.
Saya begitu takut kamu dengan yang lain.
Saya begitu takut siap kamu marah.
Saya begitu takut kamu akan kecewa pada saya. Saya......

Saya begitu takut kehilangan kamu. 
Saya rasa, saya memang tidak akan pernah tidak takut. Saya selalu takut. 


Jakarta, 19 Juni 2017 

Fau



Read More




Tuesday, November 8, 2016

Jatuh cinta? Bukan tidak ingin, tapi sedang tidak mampu



              Belakangan ini, beberapa teman saya senang sekali menyinggung soal status saya, ya, jomlo katanya. Tapi hal itu bahkan tidak mengubah pikiran saya untuk segera menjalin hubungan ‘pacaran’. Saya hanya cengengesan, saat teman-teman saya kerap kali meledek saya dengan kata-kata jomlo.

                Begini, jika hanya sekadar punya status ‘pacaran’ itu gampang, bukannya saya sombong, tapi memang iya. Beberapa kali, selama saya melajang ini, sudah ada lebih dari satu laki-laki mengatakan bahwa dia menyayangi saya. Wow, it was suprising. But, now, i didn’t think being in a relationship. Masih sangat merepotkan bagi saya, di usia saya yang sekarang. Kenapa? Karena ketika saya memilih untuk menjalin suatu hubungan asmara, itu artinya saya harus siap mengkhawatirkan orang yang menjadi pasangan saya. Actually, im not ready for that thing.

                 Akhir-akhir ini hidup saya sedang penuh dengan ujian-ujian yang menyebalkan, dan saya tidak ingin melibatkan siapapun di dalamnya. Dan, selain mengkhawatirkan orang lain, saya juga sedang enggan membagi sebagian kisah saya dengan orang lain. Dari cerita yang sudah-sudah, saya selalu mempercayakan rahasia saya kepada orang lain, tapi kemudian mereka pergi, membawa sebagian besar rahasia saya, dan itu menyebalkan.

                Saya juga sedang tidak mau menjaga perasaan siapa-siapa. Saya tahu, saat saya memilih untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain, itu artinya saya diharuskan menjaga perasaannya, even, ia tidak melakukan hal yang sama. Bagi saya, saat saya memilih laki-laki menjadi pasangan saya, maka perasaannya adalah seratus persen tanggung jawab saya. Untuk sekarang? Tidak.
Mungkin terdengar egois, jika saya mengatakan bahwa saya lebih peduli dengan perasaan saya. Tapi, hey? Siapa yang mau menjaga perasaan saya selain diri saya sendiri?


                Aktivitas saya saat ini sedang berusaha membunuh saya perlahan. Menyedihkan sekali jika nanti pasangan saya merengek, mengais sisa-sisa waktu saya. Kemudian ia menganggap saya tidak peduli dengannya, dan kemudian menganggap saya tidak menyayanginya. Padahal belum tentu saya tidak menyayanginya, belum tentu. Mungkin saja memang ia –yang nanti menjadi pacar saya- bukan prioritas saya. Kembali lagi pikirkan, siapa dia? Hingga berani meminta saya prioritaskan? Apa yang sudah ia berikan pada hidup saya? Pantaskah? Kemudian saya akan pergi meninggalkannya, dan ia akan berpikir bahwa saya menyakitinya. Bukankah begitu? Sungguh merepotkan. 
Read More




Tuesday, October 18, 2016

Mari Rayakan!

bagian mana yang kamu sebut cinta, jika cara ia memerlakukanmu seperti tawanan? 

cinta bukan alasan yang benar bertahan pada suatu keadaan tertekan. hidup adalah merayakan kebebasan, menjadi diri sendiri, bergaul dan bahagia. 

jika pasanganmu hanya memberikan luka menganga, lantas kapan kamu merasakan hal-hal yang aku sebut pada paragraf di atas? 

perasaan takut, tidak akan membawamu ke mana-mana. kamu hanya akan bersedekap di dalam ruang gelap berbalut cinta abstrak yang masih belum jelas bentuknya seperti apa. percayalah, cinta hanya konsep buatan manusia, hanya berupa kata, tidak senyata kenyataan yang ada. 

jadilah pemberani, berani melangkah, agar mampu memilih jalan mana yang pantas untukmu berpijak. 


jadilah pemberani, berani mengambil keputusan, dan menentukan ke mana kamu akan pulang. 


biarkan cinta yang mencarimu, bagian kamu hanya melanjutkan hidup dengan mencari kebahagiaan. sebab, kebahagiaan tidak selalu perihal cinta. 
Read More




Wednesday, September 14, 2016

Sebab, Saya Terjerembab...




Cinta datang terlambat, bisa jadi karena waktu yang berlalu begitu cepat. Bisa juga  orang yang dicintai keparat. 

Atau barangkali, disebabkan kesakitan yang tak pernah henti menghujani. 

Akhir-akhir ini saya sedang dekat dengan seorang teman lama, ya cukup lama. Kami kenal sejak kami berada di sekolah menengah pertama. Mengagumkan, begitu saya menganggap dirinya. Entah susuk apa yang orang tuanya tanamkan padanya sehingga ia tumbuh penuh kharisma, perempuan manapun pastilah tak mamungkiri hal itu. 

Singkat cerita, kami lulus sekolah, dan berpisah. Saya melanjutkan sekolah saya, dan hampir tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Hingga akhirnya, waktu berlalu. Saya tumbuh menjadi perempuan dewasa muda seperti ini, dan entah kebetulan atau campur tangan Tuhan, waktu berbaik hati, mempertemukan saya, dengan laki-laki yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya. Pertemuan tidak sengaja, yang saya rencanakan. 

Pertemuan pertama kalinya, setelah sekian tahun. Sebelum kami bertemu, saya sempat mendapat kabar desas-desua, bahwa ia kuliah di luar kota. Kemudian saya percaya setelah mendengar ia bercerita. Ia pulang ke Jakarta, sebab kuliahnya sedang diliburkan karena hari raya. Setelah pertemuan pertama itu, saya sudah menduga akan muncul pertemuan-pertemuan selanjutnya. Kami jadi lebih sering menghabiskan waktu berdua, bercerita, hingga saya sendiri tidak menyangka bahwa laki-laki ini adalah laki-laki yang pernah saya kagumi sosoknya, hingga sekarang. 


Kedekatan kami sudah mencapai tahap berbalas pesan dengan 'aku-kamu' dari sebelumnya dengan 'gua-elo'. Jujur, keadaan yang membuat bimbang saya. Hingga akhirnya saya luapkan pada tulisan ini. Singkatnya, waktu berlalu begitu cepat, liburannya berakhir, ia berpamitan untuk pulang dan melanjutkan kuliahnya. Tapi kami masih rajin bertukar kabar, lebih intens, kadarnya lebih tinggi. Ia pun sering mengakui bahwa dirinya merindukan saya. Setiap kali membaca pesan singkat yang tertera, mengenai perasaan rindunya pada saya, hati saya mencelos. Sebab, saya pun rindu, hanya entah bagaimana cara membalasnya. Dan saya yakin, dengan membalas mengakui bahwa saya rindu pun, tidak akan membuat rasa rindu ini hilang. Yang ada, hanya akan menjadi beban untuknya, karena saya paham pasti ia pun bingung bagaimana cara membalasnya. 


Hal lain yang saya rasakan adalah, rasa pilu saat kata 'sayang' tertera pada pesan darinya. Saat itu juga saya mengutuk waktu, mengapa baru sekarang kami dipertemukan? Mengapa setelah saya kehilangan gairah untuk menyayangi orang lain? Mengapa debar itu tidak ada? Saya begitu takut menyakitinya, saya begitu takut mengecewakannya, karena perbedaan kami yang tidak bisa begitu saja dikesampingkan karena alasan sayang. 


Selain waktu, saya juga mengutuk orang-orang di masalalu saya, sebab mereka adalah penyebab saya terjerembab pada masa sekarang. Masa di mana saya merasa entah perihal cinta. Masa di mana keyakinan telah berubah menjadi keraguan. Begitu pun perasaan sayang, yang sekarang hanya terasa bagai mimpi saat tidur siang. 


Saya masih ingin merasakan cinta, saya menyesal terlalu cepat sadar, bahwa cinta bukanlah satu-satunya hal yang pantas saya pikirkan terlalu berlebihan.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML